Kamis, 22 November 2012
Cob22 > Home > > Kebijakan Politik luar negeri SBY
0
Kamis, 22 November 2012
candra lopika
Kebijakan Politik luar negeri SBY
Kebijakan
Politik luar negeri SBY
1. Pemberian Grasi kepada para
narapidana kasus Narkoba yang controversial
Orang bilang Indonesia adalah surga dunia. Sialnya,
Indonesia juga menjadi surga bagi gembong narkoba. Jika di negara lain para
bandar narkoba dihukum gantung, maka di negeri ini, perusak generasi muda
bangsa itu malah diampuni. Gembong narkoba jaringan
internasional yang tertangkap dan dijatuhi hukuman mati itu, akhirnya diampuni
oleh presiden.
Kasus Deni diputus oleh Pengadilan Negeri
Tangerang tahun 2000. Saat itu PN Tangerang menjatuhkan vonis mati bagi Deni.
Vonis itu bahkan dikuatkan hingga putusan kasasi MA yang dijatuhkan pada 18
April 2001. Tetapi vonis itu dimentahkan oleh presiden lewat kewewenangan
memberikan grasi.
Grasi untuk Deni dikeluarkan melalui Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 7/G/2012 yang mengubah hukuman Deni dari hukuman mati menjadi
hukuman seumur hidup. Keputusan itu ditandatangani pada 25 Januari 2012. Tidak
hanya Deni, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan grasi kepada
gembong narkoba Merika Pranola yang masih satu kelompok dengan Deni, tertuang
dalam Keppres Nomor 35/G/20122 yang ditandatangani 26 September 2011.
Kasus narkoba adalah satu dari tiga hal yang dianggap
sebagai musuh besar negara, karena bisa menghancurkan sendi-sendi ketahanan dan
pertahanan. Termasuk menghancurkan generasi sebagai penerus perjuangan.
Bertolak belakang dengan pernyataan MA, Presiden telah
pertimbangan Mahkamah Agung sebelum memberikan grasi kepada terpidana narkoba
Deni Setia Maharwa. Presiden pun merujuk pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Presiden
juga telah mendapat masukan dari Menteri Politik Hukum dan HAM, Menteri Hukum
dan HAM, dan Jaksa Agung.
Namun, Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, berdalih bahwa
pemberian grasi tersebut dilakukan SBY atas dasar perhatiannya kepada warga
negara Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus
pidana. Presiden juga sangat concern dengan para WNI terlibat kasus pidana,
sehingga dipenjara dan dijatuhi vonis hukuman mati.
Tidak hanya kepada Deni, terhadap warga negara Indonesia
yang menjadi narapidana hukuman mati di luar negeri juga diupayakan permohonan
grasi oleh SBY. Hasilnya sangat banyak WNI terpidana yang sudah diringankan
hukumannya, banyak yang mendapatkan grasi atas pidana mati, pengurangan masa
hukuman penjara dan dibebaskan.
Bukan kali ini saja presiden mengampuni para gembong
narkoba. Terhitung dalam dua tahun terakhir, SBY telah memberikan grasi kepada
empat narapidana kasus narkoba. Selain kepada Ola dan Deni, presiden juga
pernah memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz
Grobmann (53 tahun). Peter merupakan terpidana 5 tahun penjara atas kepemilikan
ganja seberat 4,9 gram bruto atau 2,2 gram neto.
Grasi kepada terpidana Peter Achim berupa pengurangan jumlah
pidana selama 2 tahun. Sehingga hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada
terpidana dari pidana penjara selama 5 tahun menjadi pidana penjara selama 3
tahun. Atas pemberian grasi tersebut, Peter yang sudah menjalankan masa hukuman
lebih dari satu tahun itu tak lama lagi bakal menghirup udara bebas.
Begitu juga Corby memperoleh remisi sebanyak 25 bulan.
Dengan perhitungan sudah ditahan sejak Oktober 2004, plus pengurangan 25 bulan
dari remisi dan 5 tahun dari grasi, Corby akan selesai menjalani masa tahanan
pada September 2017. Ia berhak mengajukan pembebasan bersyarat jika sudah
menjalani 2/3 masa hukuman, sehingga diperkirakan dia bisa bebas pada Mei 2013.
Corby adalah warga Australia yang mendapat grasi melalui Keppres
Nomor 22/G Tahun 2012 yang diterbitkan 15 Mei 2012. Sedangkan Grobmann adalah
terpidana kasus narkoba asal Jerman, yang dihadiahi grasi dalam Keputusan
Presiden bernomor 23/G Tahun 2012 PEMBERIAN grasi
kepada Meirika Franola dalam kasus narkoba, dari pidana mati menjadi pidana
penjara seumur hidup menyusul grasi kepada Schapelle Corby dan Deni Setia
Maharwan, menuai kritik banyak pihak. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D.
menduga ada peran mafia narkoba yang
bisa menembus jaringan istana.
KRITIK berbagai pihak atas grasi
yang diberikan presiden itu menandai ketidakpuasan, sekaligus gugatan atas
irasionalitas grasi yang telah diberikan, apabila proses dan prosedur pemberian
grasi telah dipenuhi oleh presiden.
Secara konseptual, terdapat
pandangan bahwa grasi bukanlah hak prerogatif presiden atau wewenang khusus
yang mandiri, namun merupakan kekuasaan presiden dengan konsultasi. Sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Meskipun grasi merupakan
wewenang yang melekat pada kekuasaan presiden, penyelenggaraannya ternyata
dituntut lebih terbuka, yang jelas sangat berbeda dengan kekuasaan presiden
yang mandiri, seperti mengangkat duta dan konsul, yang dapat dilakukan secara
tertutup.
Karena itu, masyarakat
membutuhkan rasionalitas yang kuat dari pemberian grasi, terutama dalam kasus
narkoba yang berada dalam pusaran kebijakan kriminal. Tuntutan rasionalitas
menjelaskan tuntutan akuntabilitas terhadap tindakan presiden. Fenomena ini
jelas tidak dapat diremehkan oleh presiden. Sebab, persoalannya bukan karena
konstitusi menentukan grasi sebagai penyelenggaraan kekuasaan presiden dengan
konsultasi, sehingga lebih terbuka daripada kekuasaan yang mandiri prerogatif.
masyarakat menuntut standar yang lebih
tinggi daripada sekadar prosedur formal, yaitu konsultasi pada MA. Standar
tinggi inilah mungkin yang belum ditangkap presiden ketika mempertimbangkan
grasi untuk Ola, Corby, atau Deni. Rasionalitas grasi presiden atas Ola
pernah disampaikan Wamenkum HAM Denny Indrayana, baik alasan konstitusional,
prosedural, kecenderungan internasional mengenai kebijakan beberapa negara
mengeliminaai pidana mati terhadap kasus tertentu, advokasi warga negara
Indonesia yang juga diancam pidana mati di negara lain, dan alasan langkah yang
selektif, tanpa mengabaikan status kejahatan narkoba.
itu tetap
saja dianggap tidak memiliki nilai kecukupan, terutama terhadap tiga alasan
terakhir.
Setidaknya rasionalitas presiden
dalam pemberian grasi mencakup alasan-alasan yang sangat melebar, sehingga
terjadi kesenjangan dengan cara pandang masyarakat. Kebijakan beberapa negara
mengeliminasi pidana mati, seperti dipopulerkan ajaran abolisionisme, bukan
alasan kuat untuk menganggap bahwa negara-negara yang mempertahankan pidana
mati, seperti Indonesia, berpegang pada ideologi hukum yang lemah. Bahkan,
berbagai negara mempertahankan pidana mati karena dilandasi atau dimungkinkan
norma-norma agama.
Demikian pula untuk alasan
memberikan advokasi warga negara Indonesia yang terancam pidana mati di luar
negeri, jelas sangat lemah apabila mereka dipidana karena kasus narkoba.
Apabila untuk advokasi kasus lain di luar kejahatan narkoba, apa ada jaminan
bahwa grasi terhadap Corby, Deni Setia, dan Ola memiliki dampak signifikan
terhadap 298 WNI di luar negeri yang terancam pidana mati.
Penjara Seumur Hidup
Ketidakpuasan atas grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
terhadap terpidana kasus narkoba yang sangat berat di sisi lain, justru
menemukan rasionalitasnya. Perubahan status pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup itu membuka peluang terpidana narkoba memper oleh remisi
pengurangan masa pemidanaan, baik remisi umum maupun remisi khusus.
Ini diatur dalam pasal 9 ayat (1)
Keppres 174/1999 tentang Remisi. Hakikat grasi itu sendiri meringankan
terpidana dari penderitaan atas pidana yang lebih berat menjadi lebih ringan.
Lebih dari itu, pidana mati pada dasarnya mengakhiri hidup terpidana, sementara
pidana penjara, termasuk penjara seumur hidup merupakan bentuk perampasan
kemerdekaan atau kebebasan yang tidak mesti selama hidup karena dimungkinkan
remisi dan membuka pintu terpidana mengubah jalan hidup atau justru mengulangi
untuk melakukan tindak pidana.
Grasi dan Kepentingan Sosial Momentum terhadap pemberian grasi dalam kasus-kasus narkoba menguatkan pandangan bahwa penegakan hukum negara tidak dapat dibangun di atas mitos netralitas kekuasaan semata dengan mengabaikan penilaian dan penerimaan warga masyarakat. Sebab, peraturan perundangundangan, bahkan konstitusi yang telah menjustifikasi grasi tidak memberikan penjelasan yang cukup untuk membatasi kepentingan yang dapat muncul dan menentukan dalam penggunaan grasi oleh presiden.
Grasi dan Kepentingan Sosial Momentum terhadap pemberian grasi dalam kasus-kasus narkoba menguatkan pandangan bahwa penegakan hukum negara tidak dapat dibangun di atas mitos netralitas kekuasaan semata dengan mengabaikan penilaian dan penerimaan warga masyarakat. Sebab, peraturan perundangundangan, bahkan konstitusi yang telah menjustifikasi grasi tidak memberikan penjelasan yang cukup untuk membatasi kepentingan yang dapat muncul dan menentukan dalam penggunaan grasi oleh presiden.
Tidak berlebihan apabila Mahfud
MD memberi penilaian seperti disebut di atas. Penjelasan-penjelasan tambahan
masih harus dibuat untuk meyakinkan bahwa putusan presiden melalui lembaga
grasi itu telah sesuai dengan ide dan nilai-nilai yang hendak dijunjung tinggi
oleh konstitusi. Hal tersebut dapat menjadi isyarat kurang sempurnanya
konstitusi dan karenanya dibutuhkan ramuan ulang melalui amandemen. Dapat juga
karena tuntutan masyarakat yang memang sangat dinamis terhadap hukum. lembaga
grasi yang menjadi ruang istimewa bagi presiden, tidak lagi dapat menafikan
penilaian masyarakat, terutama ketika grasi dianggap mencederai kepentingan
yang lebih tinggi.
Pertimbangan MA andai
diperhatikan oleh presiden dalam pemberian grasi ternyata tidak cukup,
lebih-lebih apabila pertimbangan MA tidak diperhatikan. Kepentingan sosial,
baik kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kemanusiaan menjadi tuntutan
untuk memaknai kembali lembaga grasi, juga rehabilitasi yang sama-sama disebut
dalam pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945. Derajat rasionalitas grasi
membutuhkan aras yang lebih tinggi. secara prosedural meskipun grasi merupakan
kekuasaan presiden, tampaknya pertimbangan yang dibutuhkan tidak cukup dari MA,
apalagi hanya lembaga negara di bawah kekuasan presiden. Dibutuhkan
keterlibatan lembaga lain yang merepresentasikan kepentingan masyarakat sebagai
sasaran peredaran narkoba.
Kerugian
1.
Padahal, sebelum Keppres dikeluarkan, Mahkamah Agung telah
menyarankan kepada Presiden SBY untuk menolak permohonan grasi dua gembong
narkoba itu. Namun, SBY tak bergeming. Ia tetap memutuskan untuk mengabulkan
permohonan grasi mereka. Mahkamah telah mempertimbangkan permohonan dari kedua
terpidana mati itu, dan berpendapat bahwa permohonan tidak terdapat cukup alasan
untuk dikabulkan
2.
Perlu diketahui, grasi kepada Ola dan Deni baru terungkap
sekarang ini melalui Mahkamah Agung. Begitu pun pemberian grasi kepada Corby,
awal terungkap bukan melalui istana namun melalui media massa Australia.
Pemberian tiga garasi kepada empat gembong narkoba yang
terkait jaringan internasional itu juga bertentangan dengan ucapan presiden SBY
sendiri pada 2005 dan 2006. Ketika itu SBY menegaskan bahwa pemerintah tidak
akan mengampuni narapidana kasus narkoba.
Istana Negara, 29 Juni 2005: Presiden SBY menyatakan, grasi
untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik tidak akan
pernah dikabulkan, termasuk bagi Corby. INI MENUNJUKKAN KITA TIDAK
PERNAH MEMBERI TOLERANSI KEPADA JENIS KEJAHATAN INI.
Pemberian grasi kepada Corby bertentangan dengan kebijakan
pengetatan pemberian remisi pada napi dengan kejahatan luar biasa, seperti
korupsi, narkotik, dan terorisme. Bahkan dipertegas lagi oleh Presiden SBY pada
tahun 2006:
SAUDARA KETUA MAHKAMAH AGUNG, SAYA
SENDIRI, TENTU MEMILIH UNTUK KESELAMATAN BANGSA DAN NEGARA KITA, MEMILIH
KESELAMATAN GENERASI KITA, GENERASI MUDA KITA DIBANDINGKAN MEMBERIKAN GRASI
KEPADA MEREKA YANG MENGHANCURKAN MASA DEPAN BANGSA, tegas Presiden saat memberikan
sambutan dalam peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional yang diselenggarakan
di Istana Negara, pada 30 Juni 2006.
Ketika itu SBY menegaskan, pemerintah tidak akan memberi
toleransi kepada para pembuat dan pengedar narkoba. "PEMERINTAH
TELAH DAN AKAN TERUS MELAKUKAN PENEGAKKAN HUKUM TANPA PANDANG BULU. PARA PELAKU
KEJAHATAN NARKOBA DENGAN SEGALA BENTUK DAN MODUS OPERANDINYA AKAN TERUS KITA
LAWAN DENGAN SEKUAT TENAGA," katanya.
kini presiden SBY bak MENJILAT LUDAH
SENDIRI. Ia malah memberikan grasi kepada empat narapidana kasus narkoba
dengan alasan kemanusiaan. Tak pelak, kebijakan tersebut menuai kontroversi.
Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga DPP PDI Perjuangan Puan
Maharani mengaku tidak sepakat dengan langkah yang ditempuh pemerintah
memberikan grasi kepada gembong pengedar narkoba.
KEKURANGAN
KEBIJAKAN YANG DIAMBIL
Dampak menimbulkan peluang-peluang dan kesempatan bagi gembong
narkoba jaringan internasional unutk memperluas dan memperkokoh jaringannya di
indonesia. Terbukti, salah satu peneriman grasi
dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup, yakni Mairika Franola alias
Ola, ternyata terbukti masih menjadi pengendali jaringan narkoba internasional
setelah menerima grasi itu.
Presiden
SBY pun dinilai kecolongan. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza
Mahendra menilai kejadian itu boomerang bagi SBY karena kurang hati-hati. Grasi para Franola kini
menjadi bumerang karena presiden SBY kurang berhati-hati. Bahkan presiden SBY
adalah presiden RI pertama yang memberi grasi kasus narkoba. Terungkapnya keaktifan
Franola itu mengendalikan jaringan narkoba setelah menerima grasi, menunjukkan
bahwa terpidana terbukti menyalahgunakan pemberian grasi yang berdasarkan
kemurahan hati presiden.
Yusril
pun mengusulkan agar grasinya dicabut. Dengan demikian, hukuman matinya otomatis
berlaku kembali. atas
penyalahgunaan itu, presiden berhak mencabut grasi yang terlanjur diberikan. Pencabutan grasi lebih
efektif dibandingkan harus mengadili kembali Ola. Padahal diberi grasi sudah
seumur hidup,
Ola
sendiri divonis mati pada Agustus 2000 lalu. Bersama sepupunya, Deni Setia
Maharwa dan Rani Andriani terbukti bersalah menyelundupkan 3,5 kilogram heroin
dan 3 kilogram kokain melalui Bandara Soekarno-Hatta dalam perjalanan menuju
London pada 12 Januari 2000. Karena
dinilai berperilaku baik, Ola diberikan grasi dan hukumannya menjadi seumur
hidup. Ironisnya, belakangan, Badan Narkotika Nasional menyatakan Ola terbukti
mengendalikan peredaran narkoba meskipun telah mendapat grasi.
KELEBIHAN KEBIJAKAN
YANG DIAMBIL
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menegaskan bahwa pemberian grasi
terhadap terpidana kasus narkoba asal Australia Schapelle Leigh Corby merupakan
salah satu bentuk diplomasi di bidang hukum. kebijakan dan diplomasi dilakukan
terhadap narapidana beberapa negara seperti Malaysia serta Arab Saudi, dan
telah menghasilkan hal positif.
Dengan diplomasi seperti ini, telah banyak sekali Warga Negara
Indonesia WNI yang mendapat hukuman berat bahkan hukuman
mati telah mendapat pengampunan. Seperti perhatian langsung dari Dewan
Raja-raja di Malaysia untuk kasus-kasus TKI di Malaysia dan Raja Arab Saudi
secara khusus turun tangan untuk kasus
TKI di Arab Saudi
Sehingga, bukan sesuatu yang salah jika kebijakan serupa diterapkan
terhadap Australia. Sehingga pengurangan hukuman selama lima tahun berupa grasi
dapat dinikmati oleh seorang bernama Corby .
Banyak WNI di
penjara di Australia. mudah-mudahan pengalaman Indonesia diplomasi bidang hukum
di negara lain juga berhasil di sana di Australia. Ia menyambut baik mulai
adanya pejabat resmi Pemerintah Australia yang berbicara terkait grasi yang
diberikan kepada Corby.
jika
memang ternyata kebijakan yang diambil memiliki manfaat besar dari apa yang
sebelumnya diharapkan terhadap satu hal, sah-sah saja apabila pihak Indonesia
melakukan pengecualian-pengecualian terhadap satu kebijakan.
Kesimpulan
Dari pengamatan
yang lebih mendalam saya meliihat bahwa kebijakan politik luar negeri yang
dilakuka oleh SBY semata- mata dilatarbelakangi oleh pandangan serta pengalaman
beliau melihat suatu pengurangan hukuman terhadap wrga negara indonesia diluar
negeri dan hal ini terdampak kepada setipa kebijakan yang ia lakukan, meskipun
menimbulkan pertentangan dari banyak pihak yang menyesalkan dari kebijakan
beliau tersebut.
Semestinya
presiden sby sebgai pemimpin yang nota bene adalah seorang pemimpin haruslah
lebih selektif dan melihat segala sesuatu sevra objektif dan melalui
pertimbangan yang matang terhadap
kebijakan yang ia ambil, disni tampak gaya kepemimpinan beliau yang seolah-
olah lemah dan tidak berkuasa atas tekanan dan interes negara luar yang
memiliki keuatan yang besar. Kalaulah pemimpin ini belu bisa mandiri dan
meiliki komitmen yang jelas terhadap tindakan pelangaran hukum yang berat
berupa Narkoba yakinkah negeri ini akan menjadi surganya para penikmat narkoba dan berdampak kepada
perusakan generasinya yang tidak sehat.
Dibutuhkan
ketegasaan seorang pemimpin terhadap perkataan yang telah ia ucapkan, ucapan
yang diwujudkan dalam tindakannya, kalau tidak dri sekarang presiden menjunjung
tinggi nilai- nilai norma hukum yang berlaku tunggu saja kehancuran negeri ini.
Pemimpinyang cerdas adalah pemimpin yang bisa menghargai bangsanya dan pemimpin
yang meiliki pengaruh yang luar biasa terhadap amanah yang dia pegang semoga
kita tidak larut dalam kesenagan dan kemanjaan yang pemimpin kita berika.
Download Template gratis dan Keren koleksi Cob22
Category Template:
Lihat Lainnya:
Anda Tertarik!
Hay tamuku,Trimakasih sudah membaca Kebijakan Politik luar negeri SBY ,Silahkan bagikan artikel Kebijakan Politik luar negeri SBY kepada teman anda!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Kebijakan Politik luar negeri SBY”
Posting Komentar